Mitos Asal Usul Dilarangnya Menikah Sunda-Jawa

Mitos Asal Usul Dilarangnya Menikah Sunda-Jawa - Mungkin diantara anda yang berasal dari Jawa atau Sunda pernah mendengar bahwa ada sebuah larangan menikah antara Sunda dengan Jawa atau sebaliknya. Jika berani melanggar larangan tersebut maka hidupnya tidak akan bahagia, susah, tidak awet, dan jauh dari rezeki. Sampai saat ini mitos itu masih dipercayai oleh masyarakat kita. Lalu sebenarnya dari mana mitos itu berasal ? Mengapa hal tersebut dilarang ? Untuk itu pada postingan kali ini Kumpulan Misteri Dunia akan mengungkap Mitos Asal Usul Dilarangnya Menikah Sunda-Jawa tersebut.

Mitos Asal Usul Dilarangnya Menikah Sunda-Jawa

Saya mencoba mencari literatur yang menuliskan tentang asal usul mitos larang perkawinan Sunda-Jawa itu, Namun tidak ada satu pun literatur yang menjelaskan hal tersebut. Setelah banyak bertanya kesana kemari maka mungkin ini adalah salah satu jawaban yang menurut saya paling masu akal dengan melihat latar belakang sejarah yang ada. Konon berdasarkan info yang saya dapatkan dari pakar sejarah, mitos itu diduga akibat terjadinya tragedi perang bubat.

Tragedi Perang Bubat berawal dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka atau Dewi Citraresmi dari Negeri (Kerajaan) Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit, yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.

Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dan menjadikannya sebagai permaisuri, salah satu alasannya yang kuat adalah didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda.

Atas restu dari keluarga Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Prabu Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit.

Meskipun terjadi perdebatan di antara para bangsawan dan petinggi kerajaan, karena tidak sepantasnya keluarga perempuan datang ke keluarga calon pengantin laki-laki, namun Maharaja Linggabuana dengan hati yang bersih tetap berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit, dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sekitar 90 prajurit.

Menurut Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Majapahit Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya Kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai.

Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit.

Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai calon pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.

Versi lain menyebut bahwa Raja Hayam Wuruk ternyata sejak kecil sudah dijodohkan dengan adik sepupunya Putri Sekartaji atau Hindu Dewi. Sehingga Hayam Wuruk harus menikahi Hindu Dewi sebagai permaisuri, sedangkan Dyah Pitaloka hanya dianggap tanda takluk.

Konon, pihak Kerajaan Sunda tidak terima bila kedatangannya ke Majapahit hanya menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai tanda takluk. Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada.

Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.

Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukan Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu.

Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat.

Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan belapati atau bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatria, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.

Hayam Wuruk pun kemudian meratapi kematian Dyah Pitaloka. Akibat peristiwa Bubat ini, hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Mahapatih Gajah Mada dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahaprabu Hayam Wuruk.

Kebijakan Prabu Niskalawastu Kancana antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran (beristri dari luar), yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.

Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki 'Prabu Wangi' (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.

Raja Lingga Buana dijuluki ‘Prabu Wangi’ (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.

Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, dan juga di beberapa kota di Jawa Barat, tidak ditemukan jalan bernama ‘Gajah Mada’ atau ‘Majapahit’.

Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.

Nah, demikianlah fakta sejarah yang menghinggapi mitos dilarangnya menikah orang sunda-jawa. Kalau menurut saya hal tersebut diyakini adalah mungkin untuk mencegah terjadinya perang bubat itu tidak terjadi lagi. Tapi terserah bagaimana persepsi anda yang menanggap cerita diatas.

Sumber : http://tapakurang.wordpress.com/2013/02/07/mitos-larangan-menikah-sunda-jawa/

Post a Comment